Selasa, 22 Januari 2013

Sesuai dengan judulnya, maka pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau ujung emas.

Dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga bapak tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako. Menurut ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara khusus. Empat peristiwa tersebut adalah :

Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan
Waktu perkawinannya
Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)
Waktu kematian

Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara ini, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Acara ini bisa besar, bisa kecil, tergantung kepada kemampuan pihak keluarga bako.

Hakikat dari acara ini adalah bahwa pada peristiwa penting semacam ini, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan mereka harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.

Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak pusakonya membawa berbagai macam antaran. Terdiri dari berbagai macam barang yang diperlukan langsung oleh anak pusako, seperti pakaian, bahan baju, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan lain sebagainya.

Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama dikota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang sering disetalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.

Sore harinya pihak bako datang dan tetap tinggal dirumah anak pusakonya itu untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam harinya.

Tata cara

Menurut tradisi kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini akan bermalam semalam dirumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti.

Besoknya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan calon pengantin wanita didandani oleh bako dan lazimnya juga dipakaikan padanya pakaian adat pusaka bako, kemudian baru diantarkan secara beramai-ramai dalam satu arak-arakan adat ke rumah ibu bapaknya.

Arak-arakan bako mengantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan.

Keluarga ibu juga mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan bako ini dengan tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan di halaman dengan tari galombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan diatas rumah.

Setelah naik ke atas rumah, maka seluruh barang antaran sebagai tanda putih hati yang dibawa bako-bako tersebut (kecuali binatang ternak yang hidup) dijajarkan di tengah rumah untuk dapat disaksikan oleh orang banyak.

Biasanya yang menjadi juru bicara dalam acara ini adalah perempuan yang dihormati dalam keluarga bako. Dialah yang dengan bahasa yang penuh papatah petitih akan menyampaikan maksud kedatangan mereka dan membilang satu persatu antaran yang mereka bawa sebagai tanda putih hati dan kasih sayang kepada anak pusakonya. Dari pihak keluarga calon anak daro biasanya yang menyambut juga perempuan yang sama mahirnya dalam berbasa-basi.

Barang-barang yang dibawa bako

Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepala adat)
Nasi kuning singgang ayam (sebagai makanan adat)
Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit, selimut dll
Perangkat perhiasan emas
Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa, binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam, kambing atau kerbau
Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil

Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekonomian rumah tangganya nanti. Misalnya bibit kelapa, bibit padi dan tumbuh-tumbuhan lainnya.

Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsung disiapkan dan ikut dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini.

Semua barang bawaan keluarga bako ini ditata secara khas diatas wadahnya sesuai dengan tradisi di daerahnya masing-masing. Malah ada kalanya kerbau hidup yang dibawapun didandani dan diberi pakaian khusus agar nampak menarik dan serasi untuk tampil dalam arak-arakan itu.

Dibeberapa daerah SumBar acara yang sama dengan tujuan yang sama juga dilakukan oleh pihak keluarga ayah terhadap calon mempelai pria.




  1.Acara Sesudah Akad Nikah

Acara pokok akad nikah dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan baku Hukum Islam dan Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin langsung oleh penghulu yang biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.

Setelah selesai semua acara yang bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan lagi beberapa acara sesuai dengan adat istiadat Minang. Diantaranya yaitu :

Acara Mamulangkan Tando
Malewakan Gala Marapulai
Balantuang Kaniang
Mangaruak Nasi Kuniang
Bamain Coki


Mamulangkan Tando

Sesudah akad nikah pengantin pria dan pengantin wanita telah terikat secara sah sebagai suami isteri baik dipandang dari sudut agama maupun dari undang-undang negara. Ikatan itu sudah terpatri dalam surat nikah resmi yang dipegang oleh masing-masing pihak. Karena itu tando yang diberikan sebagai janji ikatan sewaktu bertunangan dahulu oleh kedua belah pihak keluarga tidak mereka perlukan lagi.

Pengembalian barang tando ini dilakukan secara resmi dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak setelah selesai acara akad nikah.

Urutan penyerahan tando itu dimulai oleh pihak keluarga pengantin wanita. Diserahkan kepada ibu pengantin wanita oleh seorang keluarganya yang membawa tando itu dari dalam kamar, kemudian ibu pengantin wanita menyerahkan kepada mamak dalam persukuannya. Dan mamak pengantin wanita yang menyerahkan secara resmi disambut oleh mamak pengantin pria yang kemudian menyerahkan tando itu kepada ibu pengantin pria.

Pengembalian tando milik keluarga pengantin wanita juga dilakukan dengan urutan yang sama oleh pihak keluarga pengantin pria.


Malewakan Gala Marapulai

Pengumuman gelar adat yang disandang oleh mempelai pria ini dilakukan langsung oleh ninik mamak kaumnya. Ia harus menyebutkan secara jelas dari mana gelar itu diambilkan dari persukuan ayahnya (bakonya). Jika pengantin pria bukan dari persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan oleh ninik mamak persukuan pengantin wanita dengan memberikan alasan dan penjelasan yang sama.



Balantuang Kaniang

Acara ini dan dua acara berikutnya lebih bersifat bungo alek atau kembang-kembang pesta daripada acara adat. Ini sesuai dengan pantun-pantun pepatah petitih Minang yang mengatakan :

Cukuik syaraik pai ka MakahJalankan parintah baibadaikWajib nikah karano sunnahSumarak alek karano adaik

Jadi jelas disini acara-acara adat yang dilakukan sesudah akad nikah lebih bertujuan untuk menbuat sebuah pesta tampak lebih semarak.

Secara harfiah acara ini berarti mengadu kening. Pasangan suami isteri baru itu dengan dipimpin oleh perempuan-perempuan tua yang disebut uci-uci saling menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Mula-mula kedua mereka didudukkan saling berhadapan dan antara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas. Kemudian kipas ini diturunkan pelan-pelan, sehingga mata mereka saling bertatapan. Setelah itu kedua uci-uci akan saling mendorongkan kepala pengantin itu sehingga kening mereka saling bersentuhan.

Makna acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama antara mereka dengan saling menyentuhkan bagian mulia pada wajah manusia (ingat ungkapan "malu tercoreng pada kening") maka persentuhan kulit pertama ini juga bermakna bahwa sejak detik itu mereka sudah sah sebagai muhrim. Hal ini berarti pula bahwa persentuhan kulit antar mereka tidak lagi membatalkan wudhu atau air sembahyang masing-masing.


Mangaruak Nasi Kuniang

Dihadapan kedua pengantin itu diletakkan nasi kuning yang menimbuni singgang ayam utuh didalamnya. Kedua pengantin ini dipimpin untuk saling berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi itu. Kemudian bagian-bagian yang didapat masing-masing diperagakan kepada tamu-tamu.

Kata orang tua-tua Minang dulu, bagian apa dari daging ayam itu yang didapat oleh masing-masing pengantin akan memberikan ramalan tentang peranan mereka didalam berumah tangga kelak dikemudian hari. Umpamanya kalau pengantin laki-laki mendapatkan bagian kepala, maknanya ia didalam perkawinannya betul-betul akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Kalau pengantin wanita mendapatkan sayap, maka maknanya didalam rumah tangganya nanti ia akan menjadi ibu yang penyayang dan selalu melindungi anak-anaknya. Tatapi kalau sayap ini diperoleh pengantin pria, maka pengantin wanita layak untuk menjaga suaminya lebih ketat karena ada kemungkinan ia akan terbang kesana kemari.


Ramal meramal semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang menegaskan bahwa Yang Maha Tahu tentang masa depan siapapun hanyalah Allah semata-mata, bukan manusia, walaupun setua atau sepintar apapun manusia yang meramal itu.

Perlambang lebih baik yang dapat dipetik dari acara ini, terletak pada adegan ketika sang suami mengambil sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian menyerahkan kepada isterinya. Sang isteri menerima pemberian suaminya itu, tapi tidak memakan semuanya. Ia hanya memasukkan sedikit kemulutnya, dan menyisihkan yang lain dipiringnya. Sikap ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa isteri yang baik ialah isteri yang bisa menahan hati untuk tidak selalu menghabiskan nafkah berapapun yang diberikan suaminya, tetapi selalu menyimpannya sedikit. Simpanan ini akan dikeluarkannya secara surprise kelak untuk membantu keluarga ketika terjadi musim paceklil atau kekurangan rezeki. Demikianlah simbolis acara ini sebaiknya ditafsirkan.


Bamain Coki

Coki adalah tradisional di Ranah Minang. Inimadalah semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang. papan permainannya hampir menyerupai papan halma dengan garis-garis menyilang. Anak caturnya terdiri dari buah baju berbeda warna.

Kedua pengantin dengan dipimpin oleh uci-uci mengadu kelihaian menjalankan dan saling memakan buag masing-masing. Konon kabarnya dahulu kala permainan ini bisa berlangsung lama dan sangat menarik untuk disaksikan.

Tetapi adakalanya permainan ini juga bisa berubah jadi semacam pergelutan antar mereka yang saling berebut cincin di jari masing-masing. Adakalanya juga pengantin wanita berhasil merebut cincin suaminya dan membawa lari masuk ke dalam kamarnya. Dalam situasi begini, uci-uci lalu menghasut pengantin pria memburu isterinya kedalam kamar untuk merebut cincinnya kembali.

Terang bahwa permainan ini sama sekalilah bermaksud agar pasangan suami isteri baru itu saling menunjukkan kemahirannya dalam bermain coki, tapi lebih bermakna untuk saling meluluhkan kekakuan diantara mereka dan mendorong terciptanya kemesraan pertama antar pengantin baru yang dapat disaksikan oleh orang lain.

Inilah beberapa tata cara bungo alek menurut kebiasaan yang berlaku pada beberapa kenagarian di Minangkabau, dan yang sekarang juga sudah lazim ditampilkan sesudah akad nikah dalam pesta-pesta perkawinan orang Minang di Jakarta.


(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)

11. Manjalang/ Mahanta Nasi

11. Manjalang / Mahanta Nasi

Seusai acara akad nikah yang dilanjutkan dengan basandiang di rumah kediaman mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai perhelatan besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau, ialah acara manjalang. Acara ini mungkin bisa disamakan dengan acara ngunduh mantu yang berlaku menurut adat Jawa.

Acara ini yang pelaksanaan dan undangannya dilakukan oleh pihak keluarga mempelai pria, pada beberapa nagari di Sum Bar mendapat penamaan yang berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan istilah manjalang mintuo, mahanta nasi, manyaok kandang atau mahanta nasi katunduakan, mahanta bubue dsb.

Namun maksud dan tujuannya sama, yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai pria. Mengisi adat ini bermakna bahwa pihak keluarga mempelai wanita pada hari yang ditentukan harus datang secara resmi kerumah ayah ibu mempelai pria saling kenal mengenal dengan seluruh keluarga mertua anaknya. Karena datang ini secara beradat dan kunjungan mereka itu bukan saja akan disaksikan oleh keluarga, tetapi juag oleh tamu-tamu lain yang diundang oleh keluarga pihak mempelai pria, maka tak heran kalau dibeberapa nagari di Sum Bar sampai sekarang acara ini sering dilaksanakan dengan sangat meriah dan penuh semarak.

Sesuai dengan salah satu judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang diharuskan untuk membawa berbagai macam makanan. Seperti nasi kuning singgang ayam, lauk pauk rendang, sampadeh dll. Serta kue-kue besar macam macam bolu dan kue-kue adat seperti bulek-bulek, pinyaram, kue poci, kue abuak, onde-onde dll.

Semua bawaan ini ditata diatas dulang-dulang tinggi yang bertutup kain dalamak dan dibawa dengan dijunjung diatas kepala dalam barisan oleh wanita-wanita yang berpakaian adat. Proses inilah yang disebut dengan istilah manjujuang jamba.

Di daerah dalam lingkung adat kubuang tigo baleh (Solok), bawaan nasi dan lauk pauk dalam acara ini yang disebut mahanta nasi katunduakan, ditata dalam cambuang-cambuang kaca putih yang dijunjung oleh wanita-wanita berpakaian adat setempat dengan barisan berderet satu-satu bagaikan itik pulang petang.

Di daerah pesisir seperti Padang dan Pariaman, maka segala bawaan ini baik yang dijunjung diatas dulang maupun yang dipapah dengan baki, tidak boleh ditutup agar orang-orang kampung lain bisa melihatnya sepanjang jalan yang dilalui. Di daerah ini jumlah makanan yang dibawa berbeda pula untuk orang-orang biasa bila dibandingkan dengan keturunan puti-puti. Untuk orang-orang biasa segala bawaan itu cukup setiap macam sebuah atau serba satu atau paling banyak serba dua, maka bagi keturunan puti-puti harus serba empat. Singgang ayamnya empat, kue bolunya empat dll.

Arak-arakan manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah orang tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian adat atau berbaju kurung, juga diikuti oleh para ninik mamak yang juga mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinya didalam kaum. Barisan ini juga dimeriahkan dengan iringan pemain musik tradisional setempat seperti talempong pacik, gendang, dan puput sarunai yang berbunyi terus menerus sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan. Di beberapa kampung sekarang, yang mungkin bertujuan untuk lebih praktis, iringan musik ini ada yang dilakukan dengan mengikutsertakan seorang laki-laki dalam barisan dengan menyandang tape recorder yang agak besar dan sepanjang jalan membunyikan kaset lagu-lagu Minang dengan volume besar.

Dirumah mempelai pria rombongan ini disambut pula secara adat. Selain dengan sirih dalam carano adakalanya juga dinanti dengan tari gelombang dan pasambahan. Pengantin wanita dipersandingkan lagi dengan pengantin pria di pelaminan yang sengaja dipasang oleh keluarga pengantin pria.

Adalah kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai, sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan makanan keluarga pengantin wanita yang telah kosong.

Isinya bisa berupa bahan-bahan kain untuk baju, atau seperangkat pakaian, perhiasan emas atau sejumlah uang atau bisa juga hanya diisi dengan gula, mentega dan tepung terigu. Semua itu tentu sesuai dengan kemampuan dan kerelaan sang mertua.

Untuk pesta-pesta perkawinan yang diadakan digedung-gedung, acara manjalang ini juga sering dilaksanakan secara simbolik, dimana barisan pengantin waktu memasuki gedung diawali dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang yang menjunjung jamba.

Sedangkan orang tua dan saudara-saudara kandung pengantin pria sebagai orang yang punya hajat tidak ikut dalam barisan, tetapi menunggu iring-iringan pengantin dan orang tua pengantin wanita di depan pelaminan.


(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)

10. Manjapuik Marak Pulai

10. Manjapuik Marapulai

Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon pengantin wanita.

Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari keluarga calon pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk melafaskan ijab kabul di mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga besar kembali menjemput menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita.

Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar, akad nikah diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung kedua pengantin dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini, penjemputan calon mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya.

Sering terjadi sampai sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur oleh orang tua-tua sebuah rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa juga karena dirasa juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda.

Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :

Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat
Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria
Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan

Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll. Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang, atau apapun namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya masing-masing.

Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu.

Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya. Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang baik.

Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan tindak tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh karena itulah maka pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah.

Untuk acara sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak perlu harus dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi dipercayakan kepada yang muda-muda terutama para rang sumando baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai orang yang dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal alam pembicaraan yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua.

Oleh karena kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang, maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara semacam ini oleh para jurubicara yang ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam melafalkan pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan.

Sesuai dengan efisiensi waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga harus tunduk kepada jadwal yang telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang harus nampak beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan kedatangan rombongan itu sendiri. Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang dihadapi.

Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu adalah sbb:

Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,
Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
Menyampaikan maksud kedatangan,
Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
Menanyakan gelar calon menantu mereka,
Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.

Tata cara

Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak yang akan ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai dengan undangan, maka rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu.

Pihak keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan rumah sambil menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau menerima barang-barang yang dibawa oleh rombongan yang datang.

Setelah segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini diterima dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan naik ke atas rumah. Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam.

Barang-barang bawaan rombongan penjemput termasuk sirih dalam cerana setelah diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang.

Dalam acara manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak yang datang. Jika rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai sambah manyambah, maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik bertanya kepada orang yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan.

Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang memang telah mempunyai keahlian sepadan untuk menjawab kata secara alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang dituhuakkan kepada seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan rasa kurang enak dihati tuan rumah.

Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang ini, tidak pulalah sopan jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan. Yang lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata bersayap sbb:

Jikok ado nan takana di atiNan tailan-ilan dimatoAlah kok buliah kami katangahkan ?

Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai sekarang di ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara langsung memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat. Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :

Jikok manggolek di nan dataJikok batanyo lapeh arakJikok barundiang sudah makan

Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan atau setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan.

Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput maapulai sbb :

Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon pengantin wanita.
Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa sirih dalam carano.
Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan nama orang tuanya dengan jelas).
Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan mengiringkan.

Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat ketentuan di atas.

Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon mempelai pria.

Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria.

Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai pria didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman calon mempelai wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas untuk dihormati dalam kaumnya.

Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang akan kawin itu disebut akan menjadi "anak orang lain". Sehingga momen permohonan doa restu ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan yang melepas saling bertangis-tangisan.

Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai pria ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah.

Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah.

0 komentar:

Posting Komentar